Thursday, December 29, 2011

CHARACTER BUILDING: MODAL DASAR NATION BUILDING

Membicarakan mengenai character building kedengarannya cukup klise dan nyaris tanpa makna. Ungkapan ini sering kali diucapkan oleh para politisi, praktisi pendidikan, pemimpin organisasi. Akan tetapi, selama ini ungkapan tersebut sepertinya belum meninggalkan apa-apa bagi pembangunan bangsa pada umumnya. Bahkan, ungkapan character building sudah lama tidak terdengar dan semakin pudar gaungnya.
Dalam konteks yang luas, masalah character building masih merupakan suatu isu besar, bahkan amat besar. Semua masalah di negeri ini; korupsi, lemahnya penegakan hukum dan HAM, konflik agama dan suku, disintegrasi bangsa, kekerasan dan terorisme, kemiskinan dan pengangguran, kasus kejahatan dan masih banyak lagi adalah lahir dari tidak adanya watak yang jelas dan kokoh dalam diri kita.
Kita lihat saja, akhir-akhir permasalahan yang menimpa bangsa kita begitu kompleks dan datang bertubi-tubi. Mulai dari kasus Century, kasus Nazaruddin dan Gayus Tambunan, peledakan bom, konflik di Maluku dan Papua, kekerasan terhadap agama lain dan kelompok minoritas, maraknya ajaran sesat dan orang yang mengaku nabi, tawuran antarpelajar dan antarkampung di Jakarta dan sederetan masalah pelik lainnya, yang beberapa di antaranya tidak bisa tuntas sampai hari ini. Hal ini menggambarkan betapa rapuh dan lemahnya karakter bangsa ini.
Bertitik tolak dari kenyataan di atas, maka menurut penulis sudah saatnya pendidikan character building secara komprehensif kita galakkan kembali. Mengapa demikian? Sebab pendidikan character building adalah sangat signifikan untuk saat ini untuk memperbaiki kondisi bangsa yang kian carut-marut ini. Dan character building yang dimaksud di sini tidak sekedar seperti apa yang diajarkan di sekolah maupun kampus saja, tapi meliputi berbagai aspek kehidupan dan berbagai elemen masyarakat yang ada.
Lalu, siapa saja yang bertanggung jawab terhadap pendidikan character building? Tugas ini tidak hanya dibebankan kepada guru atau dosen semata, tapi setiap diri pribadi dari bangsa ini memiliki tanggung jawab akan hal itu. Tidak hanya oleh sekolah atau kampus, tapi juga dilakukan oleh instansi pemerintah dan swasta, lembaga dan LSM, perusahaan, organisasi, perkumpulan atau komunitas, hingga pranata terkecil yaitu keluarga. Bahkan, pendidikan character building di lingkungan keluarga adalah sangat vital dan menentukan serta menjadi tolok-ukur keberhasilan sebuah pendidikan. Keluarga adalah tempat yang utama dan pertama dalam membangun karakter positif dan menanamkan nilai-nilai.
Menurut penulis, pendidikan character building dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
1. Personal Character Building
Pembangunan karakter ini bersifat individu, yaitu berbagai nilai dan perilaku yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang dan menjadi ciri khas kepribadiannya. Elemen-elemen karakter individu ini meliputi:
a. Keimanan/keyakinan
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Oleh karena itu, setiap warga negara seharusnya memiliki keimanan yang kuat dan mau menjalankan perintah agamanya masing-masing secara baik dan konsisten. Orang yang beriman akan selalu takut kepada Tuhan dan berusaha untuk berbuat baik kepada sesama. Ia tidak akan mau melakukan perbuatan-perbuatan yang membuat murka Tuhan maupun yang merugikan orang lain.
Oleh karena itu, pendidikan agama sangatlah penting. Sekalipun demikian, masih banyak para orang tua yang menyerahkan pendidikan agama anak-anaknya ke sekolah, pesantren, masjid atau lembaga pendidikan lainnya. Padahal, penanaman nilai-nilai keimanan dan pokok-pokok agama harus diterapkan sejak dini di dalam keluarga. Orang tua memegang peran dan tanggung jawab utama dalam hal ini.
Kita lihat saja, terutama di sekolah-sekolah umum, persentase pendidikan agama kecil sekali, bahkan hanya dua jam pelajaran dalam seminggu. Itupun lebih cenderung bersifat kognitif semata. Selain itu, jika orang tua tidak berhati-hati, tak jarang anaknya belajar agama secara salah dan masuk dalam perangkap ajaran sesat.
Peranan agama dalam pendidikan karakter individu sangatlah besar. Beragama secara baik akan membuahkan perilaku yang baik pula. Keimanan akan dijadikan dasar dalam setiap langkah dan perbuatan. Penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari akan membentuk karakter individu dalam berbagai aspek. Inilah dasar pokok yang harus dimiliki oleh setiap orang di negeri ini.
Jika setiap orang telah memiliki iman yang kuat dan pengamalan ajaran agama secara baik, ia tidak mungkin akan melakukan perbuatan-perbuatan seperti menyakiti orang lain, menyebar isu, memprovokasi dan memfitnah, ikut ajaran sesat, korupsi dan mencuri, malas bekerja, tidak toleran, berbuat jahat dan lain sebagainya.
b. Kejujuran
Setelah keimanan, elemen berikutnya yang tak kalah pentingnya adalah nilai kejujuran, yang merupakan representasi dari keimanan itu sendiri. Di zaman sekarang ini, mungkin kejujuran adalah barang langka. Banyak sekali orang yang pintar, tapi sangat sedikit orang yang jujur. Mudah sekali menemukan orang yang pintar, tapi sangat sulit menemukan orang yang jujur. Walau pada kenyataannya masih cukup banyak orang jujur di Indonesia ini, tapi mereka tak berdaya menghadapi kelompok kecil manusia yang korup dan punya kekuasaan.
Kita seharusnya malu menjadi bangsa yang suka mengklaim sebagai negara yang penduduknya agamis, sementara para praktik kehidupan sehari-hari kita tidak memiliki kejujuran. Di satu sisi kita mengaku beriman, kita melaksanakan shalat, tapi di sisi lain kita juga melakukan korupsi, menipu, berbohong, bersumpah palsu, merekayasa dan sejenisnya. Seakan-akan agama hanyalah simbol semata, seakan-akan shalatnya hanyalah pura-pura belaka.
Orang rela berkata dan berbuat tidak jujur hanya demi meraih kekuasaan dan kekayaan. Orang rela berbohong dan bersumpah palsu demi terbebas dari jeratan hukum dan pengadilan. Orang bersedia merekayasa fakta dan data demi tercapainya kepentingan pribadi dan golongan.
Di abad informasi seperti sekarang ini, kejujuran dalam hal berita dan tulisan juga sangat penting. Masih banyak kita temui informasi yang menyesatkan, berita yang membingungkan dan tidak jelas, berita yang tidak jujur dan fair. Bahkan, tak jarang penulis yang berbuat curang dan culas demi sebuah ketenaran, seperti plagiat, menjiplak, atau mengakui karya orang lain sebagai karyanya sendiri.
Menurut saya, satu-satunya cara untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran pada individu adalah memberikan pemahaman agama yang baik dan benar. Orang yang takut pada Tuhan, otomatis takut juga untuk berbuat tidak jujur. Orang yang percaya pada hari akhirat, ia juga percaya bahwa setiap perbuatan – sekecil apapun – akan mendapatkan balasan setimpal. Orang yang beriman akan yakin bahwa setiap ketidakjujuran, akibatnya akan kembali pada diri sendiri.
c. Kerja Keras
Setelah keimanan dan kejujuran, elemen penting dari karakter pribadi yang perlu dibangun adalah kerja keras. Inilah karakter yang mulai menurun pada bangsa ini, terlebih yang terjadi pada para pejabat dan pegawai. Sebagian dari mereka memilih “kerja pintas” untuk meraih kesuksesan dan kekayaan. Inilah yang membuat mereka melakukan korupsi, penyelengan dan penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, rekayasa dan semacamnya. Mereka lupa bahwa untuk memperoleh sesuatu harus melalui kerja keras dan perjuangan. Tidak ada yang instan di dunia ini.
Selain itu, tidak adanya karakter kerja keras juga menimpa rakyat jelata kita. Mereka tetap dalam kemiskinan, mereka tetap dalam kebodohan, mereka tetap terbelakang, karena mereka tidak mau berusaha mengubah hidup mereka. Akibatnya, kondisi itu merangsang mereka untuk berbuat kejahatan, seperti mencuri, merampok, menjarah, membunuh, menjadi gelandangan, menjadi pengemis, menjadi pekerja seks dan penyakit sosial lainnya. Bagaimana mungkin mereka akan andil dalam pembangunan bangsa, sementara memenuhi kebutuhan primer saja mereka belum mampu.
d. Kemandirian
Kemandirian juga termasuk karakter individu yang penting untuk membangun bangsa. Karakter ini seharunya dibentuk sejak kecil dan dimulai dari keluarga. Mulai dari hal-hal sepele, seperti mencuci pakaian sendiri, menyiapkan kebutuhan sekolah sendiri, hingga perilaku kreatif, seperti kemampuan mencipta atau membuat barang/produk, berlatih mencari penghasilan sendiri dan sebagainya.
Begitu pula dengan kondisi lapangan kerja yang sulit seperti sekarang ini, maka seseorang dituntut untuk bisa mandiri, dalam arti mampu menciptakan lapangan kerja sendiri. Tidak hanya mengharap pada pemerintah untuk membuka lapangan kerja atau malah pasrah dengan keadaan.
Sedangkan secara nasional, kemandirian dapat diartikan kemampuan negara untuk berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung pada negara lain. Jika hal ini bisa dilakukan, tidak akan ada lagi istilah hutang ke IMF, hutang ke Bank Dunia atau hutang yang diwariskan ke anak-cucu generasi bangsa.
2. Community Character Building
Kita hidup dalam masyarakat (komunitas) yang heterogen. Berbeda agama, suku bangsa, bahasa, adat-istiadat, budaya, pendidikan, sejarah dan sebagainya. Agar kehidupan bisa berjalan dengan baik dan rukun, maka setiap kelompok atau golongan harus memiliki karakter sebagai berikut:
a. Saling Menghormati dan Menghargai
Inilah karakter penting yang harus ditumbuhkembangkan dalam masyarakat yang plural. Timbulnya berbagai konflik dan gesekan biasanya berakar dari tiadanya sikap saling hormat-menghormati dan menghargai antarkelompok dan golongan yang ada. Hindari juga sikap fanatisme golongan, merasa paling baik, merasa lebih tinggi dari yang lain, merasa mayoritas dan berbagai sikap lainnya yang bisa memicu pertentangan.
b. Sikap Toleransi
Ini juga termasuk karakter yang mulai pudar dalam masyarakat kita. Sebagian dari kita tidak menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat yang majemuk. Masing-masing kelompok dan golongan tentu memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Kita tidak boleh memaksakan keinginan dan kehendak kita kepada kelompok lainnya. Wujud dari sikap toleransi adalah kita memberikan kebebasan kepada orang atau golongan lain untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka, serta memberi ruang kepada etnik lain untuk melakukan ritual budaya dan tradisi leluhur mereka. Kasus penutupan atau penyerangan gereja, bentrokan fisik dengan warga Ahmadiyah adalah contoh tidak adanya sikap toleransi dalam masyarakat kita.
c. Saling Bekerjasama dan Tolong-Menolong
Untuk mencapai tujuan bersama, diperlukan kerjasama dan tolong-menolong antarkelompok masyarakat yang ada. Kita tidak mungkin meraih kesejahteraan dan kemakmuran jika harus berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing kelompok memiliki kelebihan dan kekurangannya. Untuk itulah, semua potensi yang ada perlu disatu-padukan agar terbentuk kekuatan baru dalam pembangunan.
Jika ketiga karakter bermasyarakat di atas bisa terlaksana dengan baik, maka akan terwujud sebuah masyarakat yang damai, tenang, aman, adil dan rukun.
3. Nation Character Building
Setelah setiap orang memiliki karakter individu seperti telah diuraikan di atas, demikian halnya setiap kelompok yang ada dalam masyarakat juga telah menunjukkan karakter komunitasnya, maka tidaklah sulit untuk mewujudkan pendidikan karakter bangsa (nation character building). Maka selanjutnya, secara nasional, karakter yang harus dibangun adalah:
a. Jiwa Persatuan dan Kesatuan
Indonesia terdiri dari berbagai agama, suku bangsa, bahasa, adat-istiadat dan budaya. Oleh karena itu, persatuan dan kesatuan bangsa perlu dijaga dan dilestarikan. Setiap elemen bangsa perlu menyadari arti pentingnya Bhinneka Tunggal Ika, termasuk menjalankan isi Sumpah Pemuda dalam kehidupan berbanga dan bernegara. Kita lebih mengedepankan semangat keindonesiaan daripada semangat kelompok atau golongan.
Jika kita bersatu, maka kita akan kuat dan kokoh. Jika kita bersatu, maka berbagai permasalahan bangsa akan dengan mudah diatasi. Tidak akan ada lagi perpecahan dan permusuhan, tidak ada lagi separatisme atau yang hendak merdeka dan mendirikan negara sendiri. Konflik di Maluku dan Papua akhir-akhir ini menunjukkan bahwa jiwa persatuan dan kesatuan kita belumlah tertanam dengan baik dan menjadi karakter setiap elemen bangsa.
b. Merasa Senasib dan Sepenanggungan
Pengalaman dijajah oleh beberapa bangsa Eropa dan Asia Timur, membuat kita merasa senasib dan sepenanggungan. Kita adalah bersaudara. Untuk itu, kita perlu bahu-membahu dan berjuang demi tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia dan demi terlaksananya pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Kesalahan dalam Pendidikan Kita
Pendidikan Character Building yang ada di sekolah maupun di kampus diformulasikan menjadi pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran budi pekerti, yang program utamanya ialah pengenalan nilai-nilai secara kognitif semata. Paling-
paling mendalam sedikit sampai ke penghayatan nilai secara afektif.
Padahal, pendidikan watak seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Dari sinilah dibutuhkan keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah konatif.
Jadi dalam pendidikan watak, urut-urutan langkah yang harus terjadi ialah langkah pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ini trilogi klasik pendidikan yang oleh Ki Hajar Dewantara diterjemahkan dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.

No comments:

Post a Comment